Steve Mara Mahasiswa S3 Asal Papua Merilis Buku Dalam Bahasa Inggris

by Isabella Citra Maheswari

Di tengah riuh dunia yang terus bergolak, seorang pemuda Papua bernama Steve Mara memilih jalannya sendiri bukan dengan teriakan, tapi lewat kata. Mahasiswa doktoral di bidang Peace Studies di salah satu universitas ternama di Inggris ini baru saja merilis buku keempatnya, berjudul We All Want to Live in Peace. Sebuah karya yang lahir dari perenungan panjang, ditulis dalam bahasa Inggris sebagai bentuk ekspresi global bahwa perdamaian adalah milik semua, hak semua, dan tanggung jawab semua.

Buku ini bukan sekadar narasi akademik. Ia adalah kesaksian hidup. Di dalamnya, Steve menyingkap kisah-kisah nyata tentang konflik yang menghantui kampung halamannya di Papua konflik yang sering kali tak terlihat oleh sorotan media, namun nyata membekas di hati masyarakatnya. Ia tidak menyalahkan, tidak menghakimi. Ia menulis dengan empati dan analisa. “Konflik di Papua adalah potret kecil dari pergolakan dunia,” ujarnya dalam peluncuran bukunya di London. “Tapi dari luka itu juga kita bisa belajar bagaimana menciptakan jalan pulang menuju damai.”

Sebagai putra Papua, Steve merasa terpanggil untuk tidak hanya menyuarakan perdamaian, tapi turut merancangnya. Ia menyadari bahwa damai bukan sekadar ketiadaan konflik, tetapi hadirnya keadilan, pengakuan, dan pembangunan yang berpihak. “Saya ingin damai yang lahir dari rekonsiliasi, bukan represi. Damai yang aktif, bukan damai palsu yang menutup-nutupi,” ungkapnya. Baginya, damai harus dibangun dengan strategi dan ilmu. Bukan janji kosong.

Meski telah menulis empat buku, Steve tetap merasa bahwa dirinya masih dalam proses belajar. Ia tidak menempatkan dirinya sebagai ahli, melainkan sebagai pembelajar seumur hidup. “Buku ini belum sempurna. Tapi saya percaya, setiap tulisan punya nyawa dan jejaknya sendiri. Ia bisa mengetuk hati, menggerakkan pikiran, dan semoga menjadi bagian dari perubahan,” tuturnya.

Perjalanan akademik Steve adalah cermin dari ketekunan dan harapan. Ia menyelesaikan pendidikan sarjananya di Jayapura, di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Umel Mandiri yang kini bernama Universitas Doktor Inggratubun. Gelar masternya diraih di Universitas Pertahanan Republik Indonesia, sebelum akhirnya melanjutkan studi S3 berkat beasiswa LPDP dari Kementerian Keuangan.

Baginya, menulis adalah cara untuk membingkai pengalaman, menyusun ulang keping-keping realitas menjadi narasi yang bisa dibagikan. “Ketika anak muda menulis, mereka sedang melatih pikirannya, membentuk jiwanya. Saya menulis karena saya ingin tetap waras, tetap sadar, dan tetap punya arah. Papua butuh anak muda yang berpikir jernih dan berjiwa besar,” katanya.

Kini, We All Want to Live in Peace telah menyentuh pembaca dari berbagai latar. Tapi bagi Steve, ini bukan titik akhir. Ia sudah menyiapkan karya selanjutnya. Sebab selama konflik masih ada, harapan untuk damai harus terus disuarakan—dengan pena, dengan suara, dengan keberanian.

Artikel Terkait

Leave a Comment