Di tengah dinamika perkembangan global dan lokal, Indonesia telah menghadapi ancaman serius dari penyebaran paham radikal yang menyasar generasi muda.
Fenomena ini menjadi perhatian serius bagi masyarakat dan pemerintah, karena potensi kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh radikalisme dalam masyarakat yang beragam dan pluralistik seperti Indonesia.
Paham radikalisme, baik yang bersifat agama, ideologi, atau politik, memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pikiran dan perilaku generasi muda.
Dalam era digital yang terhubung secara global, penyebaran ide-ide radikal juga semakin kompleks dan mudah dilakukan melalui media sosial dan internet.
Generasi muda rentan terhadap pengaruh ini karena mereka berada dalam fase perkembangan yang rentan terhadap pencarian identitas dan kebutuhan akan penerimaan sosial.
Ancaman yang dihadapi bukan hanya terbatas pada potensi kekerasan fisik, tetapi juga terkait dengan penolakan terhadap pluralisme, toleransi, dan nilai-nilai demokrasi yang menjadi dasar bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, langkah-langkah preventif dan intervensi yang tepat perlu segera diambil untuk mencegah dan menangkal penyebaran radikalisme di kalangan generasi muda.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) Komjen Pol. Prof. Dr. H. Mohammed Rycko Amelza Dahniel, M.Si. menegaskan kepada Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) dan Duta Damai Jawa Barat (Jabar) bawa sasaran kelompok radikalisme adalah menjadikan para generasi muda intoleran.
Yang dihancurkan pertama kali adalah sifat, sikap dan pandangan toleransinya. Lalu nantinya diajarkan kebencian, kekerasan, kekejian dan kebiadaban, dengan menggunakan bungkus agama.
Rycko menambahkan bahwa proses penyebaran ideologi ini menyasar kepada keyakinan generasi muda dengan diperkuat oleh narasi-narasi mengatasnamakan perintah agama.
Padahal pihaknya selalu menegaskan bahwa tidak ada satupun agama di dunia yang mengajarkan kekerasan.
Pendidikan yang inklusif dan berkualitas menjadi kunci dalam menangkal penyebaran paham radikal. Kurikulum pendidikan harus memasukkan nilai-nilai pluralisme, toleransi, dan dialog antaragama serta antarbudaya.
Guru juga perlu dilatih untuk menjadi agen perdamaian dan toleransi di kelas, sehingga mereka mampu membimbing siswa dalam memahami perbedaan dan menghargai keberagaman.
Agar memiliki kesadaran akan bahaya radikalisme, para generasi muda juga diingatkan untuk memperkuat rasa kebangsaan dengan pengetahuan, rajin membaca pelajaran kebangsaan sejarah terbentuknya Indonesia.
Literasi digital menjadi senjata utama dalam melawan radikalisasi. Generasi muda yang terdidik dengan baik dalam literasi media mampu mengenali dan mengkritisi konten yang mereka konsumsi. Program edukasi yang menekankan keterampilan ini dapat membantu mereka memahami cara kerja algoritma media sosial yang sering kali memperkuat narasi ekstremis.
Dengan keterampilan ini, mereka tidak hanya bisa melindungi diri sendiri, tetapi juga melindungi teman dan keluarga dari pengaruh negatif yang mungkin timbul.