Menuju Swasembada Energi, Indonesia Targetkan 100 GW Pembangkit Listrik Tenaga Surya

by Isabella Citra Maheswari

Pemerintah berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 100 Gigawatt (GW) di seluruh Indonesia. Program ini mencakup pembangunan 80 GW PLTS dan sistem penyimpanan energi baterai atau Battery Energy Storage System (BESS) sebesar 320 GWh yang akan dikelola oleh Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) di 80 ribu desa, serta 20 GW PLTS terpusat.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik inisiatif ini yang selaras dengan visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto untuk memperluas akses energi bersih, merata, dan terjangkau hingga ke pelosok desa.

“Apabila terlaksana dengan baik, proyek ini akan menjadi inisiatif elektrifikasi desa dan program pembangkit energi terbarukan terdistribusi terbesar di Asia Tenggara,” kata Chief Executive Officer IESR, Fabby Tumiwa dalam pernyataan resmi di Jakarta, Kamis (7/8/2025).

Fabby menjelaskan, program ini berpotensi menyelesaikan tiga persoalan utama dalam penyediaan energi di Indonesia. Pertama, memperluas akses listrik yang andal dan terjangkau bagi masyarakat desa. Kedua, menggantikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang mahal dan bersubsidi. Ketiga, mempercepat transisi energi melalui peningkatan bauran energi terbarukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Menurut dia, Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar, dengan kapasitas antara 3.300 GW hingga 20.000 GW yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Apalagi, teknologi PLTS kini semakin murah, modular, dan mudah dibangun.

“Inisiatif ini juga dapat meningkatkan daya saing dan kapasitas industri fotovoltaik nasional, dengan menyerap produksi modul surya dan baterai dalam negeri. Ini akan mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja hijau,” ujarnya.

Meski menjanjikan, IESR menilai proyek ini menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan pertama adalah pemilihan lokasi pembangkit.

Menurut Fabby, lokasi harus mempertimbangkan kondisi geografis dan kebutuhan beban listrik, serta menjamin kelayakan teknis dan finansial dari 80 ribu proyek yang direncanakan. Ia menekankan pentingnya keterlibatan perguruan tinggi, terutama fakultas teknik, untuk merancang sistem yang modular dan cepat dipasang.

“Pendekatannya harus plug and play,” tambahnya.

Tantangan kedua adalah kebutuhan tenaga kerja. Untuk membangun 1 MW PLTS dan 4 MWh BESS, dibutuhkan sekitar 30 hingga 50 tenaga kerja dalam rentang waktu 9 hingga 12 bulan. Namun, saat ini tenaga kerja terampil di bidang ini masih terbatas dan belum merata.

“Pemerintah perlu segera memetakan kebutuhan tenaga kerja dan menyiapkan pemasang bersertifikat melalui kerja sama dengan Balai Latihan Kerja, sekolah vokasi, dan perguruan tinggi. Pelatihan juga harus menjangkau komunitas lokal agar proyek ini memberikan manfaat langsung kepada warga setempat,” jelas Fabby.

Fabby juga menekankan pentingnya pelibatan masyarakat desa dalam seluruh proses proyek, mulai dari perencanaan, pengelolaan, hingga pemanfaatan. Menurutnya, pendekatan partisipatif yang menjunjung hak asasi manusia dan bebas korupsi harus menjadi prinsip dasar proyek ini.

“Jika dirancang dan dilaksanakan dengan benar, proyek ini akan menjadi titik balik bagi swasembada energi, memperkuat industri dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan mempercepat transisi energi Indonesia,” kata Fabby.

Langkah ini, imbuhnya, juga akan memperkuat posisi Indonesia di peta transisi energi dunia dan menurunkan risiko krisis iklim global.

Artikel Terkait

Leave a Comment