nusarayaonline.id – Pernyataan provokatif kembali muncul dari Ketua Organisasi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Jeffrey P Bomanak bahwa Tuhan dan masyarakat internasional sedang menyaksikan TNI Polri Indonesia jadikan penyanderaan sebagai alasan untuk membunuh warga sipil Papua. Disebutnya bahwa kolonial Indonesia memiliki rencana terselubung untuk membunuh warga Papua dengan asalan pembebasan sandera Kapten Philip Marhtens. Dirinya mengklaim bahwa TPNPB OPM memiliki kualifikasi yang unik untuk membuka kedok kolonisasi dan terorisasi Indonesia di mata internasional. Hal tersebut yang kemudian menjadi tawaran kepada pemerintah Indonesia agar segera berunding dengan TPNPB OPM.
Provokasi juga tak berhenti disitu, dituliskan pula bahwa istilah konflik bersenjata tidak relevan dalam perjuangan bangsa Papua, namun yang benar adalah perang pembebasan antara TPNPB OPM melawan TNI Polri demi penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Menurutnya perang pembebasan nasional bangsa Papua untuk merebut kedaulatan bangsa Papua adalah perang yang dijamin dalam hukum internasional dimana belum selesai berdasarkan mekanisme internasional.
Sebuah siasat mempengaruhi publik dengan permainan kata-kata demi satu misi yakni pelepasan Papua dari negara Indonesia. Pernyataan Jeffrey P Bomanak juga didukung oleh tulisan dari tokoh separatis Papua lainnya, yakni Benny Wenda. Memanfaatkan unggahan di akun Facebook, dirinya menulis secara panjang lebar bahwa West Papua secara efektif berada di bawah darurat militer. Kalimat senada juga dituliskan bahwa Indonesia menggunakan insiden penculikan pilot Susi Air sebagai dalih untuk memperkuat cengkeraman kolonial di West Papua.
Tuduhan Tak Masuk Akal Lempar Batu Sembunyi Tangan Manfaatkan Warga Sipil Papua
Jika kita perhatikan, selama ini penanganan yang dilakukan aparat keamanan pemerintah Indonesia lebih bersikap defensif. Pertimbangan kemanusiaan dan menghindari timbulnya korban selalu menjadi hal yang diutamakan. Berbeda dengan yang dilakukan olen TPNPB OPM. Misi mereka untuk meraih kemerdekaan Papua selalu tak luput dari aksi-aksi penyerangan yang kerap menimbulkan korban, baik dari warga sipil maupun aparat. Berdasarkan data dari Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahwa sepanjang tahun 2022 telah terjadi 10 aksi yang dilakukan kelompok separatis di Papua. Aksi teror tersebut telah mengakibatkan jatuhnya 104 korban, diman 52 korban meninggal dunia dan 52 terluka.
Munculnya tuduhan bahwa aparat Indonesia menggunakan penyanderaan pilot Susi Air sebagai alasan untuk menyerang warga Papua tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah Indonesia telah menegaskan bahwa tindakan aparat keamanan di Papua bertujuan untuk menjaga keamanan dan stabilitas di wilayah tersebut serta menindak kelompok-kelompok separatis yang melakukan tindakan kekerasan dan terorisme. Selain itu, serangan terhadap warga sipil di Papua telah dikutuk oleh pihak-pihak internasional, termasuk PBB dan organisasi hak asasi manusia. Oleh karena itu, tuduhan bahwa aparat Indonesia menggunakan penyanderaan pilot Susi Air sebagai alasan untuk menyerang warga Papua tidak memiliki dasar yang kuat dan dapat memicu ketidakharmonisan di antara masyarakat. Namun bisa jadi memang itu tujuan yang ingin dilancarkan oleh Jeffrey P Bomanak. Yakni terciptanya hubungan yang tak harmonis antara aparat keamanan dan warga sipil Papua. Sudah pasti tujuan yang ingin diraih adalah beralihnya sikap masyarakat untuk kemudian mendukung TPNPB OPM agar wilayah Papua lepas dari Indonesia.
Jeffrey P Bomanak Mainkan Black Campaign untuk Sudutkan Pemerintah Indonesia
Dilihat dari skema perebutan pengaruh publik memanfaatkan unggahan media sosial dengan narasi persuasif. Permainan pengaruh dan cipta opini sepertinya terus digencarkan oleh TPNPB OPM. Sebelumnya, black campaign terhadap TNI Polri juga pernah dilakukan dengan tuduhan bahwa terdapat serangan di markas Egianus Kogoya pada akhir Maret lalu. Seperti di atas angin, black campaign yang kemudian turut disiarkan oleh media asing bernama Radio New Zealand (RNZ) menyebut bahwa serangan yang menyebabkan satu anggota kelompok separatis tewas merupakan buntut dari penyanderaan pilot Susi Air. Namun gara-gara serangan tersebut, disebut pula bahwa kelompok separatis melancarkan serangan balik yang kemudian menewaskan satu prajurit TNI dan satu anggota Polisi saat sedang mengamankan sholat tarawih di distrik Ilu Puncak Jaya.
Berangkat dari hal tersebut, apa yang disampaikan dan menjadi pemikiran oleh Jeffrey P Bomanak tak bisa dibenarkan. Segala yang dituliskan sebenarnya berbalik kepada tabiat pihaknya sendiri. Selama ini yang terpola di kelompoknya adalah menjadikan masyarakat sipil sebagai tameng untuk menghindari atas kesalahan yang dilakukan melalui sejumlah aksi penyerangan. Jika aparat TNI Polri berhasil melumpuhkan sejumlah anggotanya, maka para simpatisan dan afiliasinya serentak merespon dengan pelanggaran HAM. Namun jika mereka menyerang masyarakat sipil, selalu disebut sebagai aparat yang menyamar. Terlebih melalui juru bicaranya, Sebby Sambom dengan bangganya mengaku bertanggung jawab terhadap setiap korban jiwa dari aksi penyerangan yang dilakukan. Sebuah hal gila yang mestinya tidak diikuti oleh anak-anak muda Papua di masa mendatang.
Berdasarkan data kejadian insiden yang pernah terjadi. Kelompok separatis berulang kali melancarkan aksi teror pada sejumlah wilayah Papua. Di Kabupaten Puncak misalnya, aksi yang menimbulkan korban jiwa dan menyimpan trauma bagi masyarakat tersebut antara lain yakni penembakan terhadap seorang tukang ojek di jembatan Ilame, Kampung Wako, Distrik Gome, pada 23 Januari 2023; penyerangan terhadap seorang anggota TNI di Pasar Sinak, Distrik Sinak, pada 24 Januari 2023; pembakaran sebuah rumah dan baku tembak dengan aparat keamanan di Ilaga pada 18 Februari 2023; penyerangan Pos TNI dan menembak mati satu prajurit TNI serta seorang warga sipil di Kampung Pamebut, Distrik Yugumuak. pada 3 Maret 2023; serta menembak mati seorang tukang ojek di pertigaan jalan Kimak, Distrik Ilaga, pada 22 Maret 2023.
Istilah Perang Pembebasan adalah Upaya Melegitimasi Pelepasan Papua dari Indonesia
Menjadi hal yang tak masuk akal lagi dari tulisannya bahwa istilah konflik bersenjata tidak relevan dalam perjuangan bangsa Papua, namun menurutnya adalah perang pembebasan antara TPNPB OPM melawan TNI Polri demi penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Dinilainya bahwa hal tersebut masih dijamin dalam hukum internasional dimana belum selesai berdasarkan mekanisme internasional. Hal ini tentu saja merujuk pada sejarah Pepera.
Peneliti Muda Galesong Institute Jakarta, Stefi Vellanueva Farrah pernah membahas bahwa kampanye Pepera ilegal karena terjadi berbagai praktek yang tidak sesuai dengan HAM maupun standar-standar hukum internasional, sepintas memang tampak logis dan rasional. Namun, sebetulnya hal tersebut merupakan bagian dari upaya pihak asing untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Jika aspek HAM menjadi hal yang dikedepankan, mana yang kemudian lebih hakiki: melepaskan diri dari penjajah atau teknis demokrasi one people one vote? Demokrasi baru bisa dinikmati jika penjajah sudah berhasil diusir. Tidak ada demokrasi di wilayah yang sedang dijajah.
Peneliti Papua asal LIPI (sekarang BRIN), Muridan Wijoyo juga pernah menjelaskan bahwa Pepera digelar untuk menjalankan perintah dari perjanjian New York pada 1962, yang menyebutkan bahwa untuk memastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan harus dilakukan Pepera. Pepera 1969 dihadiri oleh sekitar 1025 perwakilan rakyat Papua, digelar di sejumlah kabupaten antara lain di Jayapura, Biak, dan Merauke. Berdasarkan hasil Pepera saat itu, semua perwakilan menyatakan mau bergabung dengan RI. Hasil Pepera 1969 kemudian diakui oleh PBB dan dikeluarkan resolusi yang menyatakan Papua sebagai bagian yang sah dari NKRI. Resolusi ini juga disetujui 80 negara anggota PBB dan hanya 20 negara yang abstain. Tidak ada negara di dunia yang menolak masuknya Papua ke Indonesia.
Singkatnya, kita telah berhasil mengusir penjajah dari wilayah Nusantara, dan Pepera 1969 jadi momentum penegasan bahwa orang Papua adalah Bangsa Indonesia berdasarkan azas Possedetis Juris yang mengatur bahwa batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka. Bukan sebuah pekerjaan mudah bagi Bung Karno dan para founding fathers saat itu untuk menata negeri yang baru merdeka. Belanda yang sudah ratusan tahun menjajah Indonesia, enggan melepaskannya dalam tempo singkat. Maka penyerahan kekuasaan atas wilayah NKRI yang sudah diproklamirkan tersebut dilakukan secara bertahap oleh Belanda kepada Pemerintah Indonesia.
Maka sudah sepantasnya, tulisan-tulisan dari Jeffrey P Bomanak tersebut tidak digubris karena penuh dengan kepentingan politik dan provokasi yang rawan dimanfaatkan secara sepihak. Sekali lagi, yang dikhawatirkan adalah warga Papua sendiri yang kerap menjadi tameng.
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)