Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menyebut transaksi judi online atau judol menurun setelah lembaganya memblokir rekening dormant, yakni rekening yang menganggur. Langkah itu, menurut dia, menyasar akun yang kerap dipakai pelaku kejahatan untuk menyamarkan aliran dana haram.
“Makna paling baik yang kami lihat ketika kami melakukan pemblokiran rekening, transaksi judol turun sampai 70%,” ujar Ivan kepada Tempo saat ditemui di Kantor PPATK, Jakarta Pusat, pada Kamis 31 Juli 2025.
Catatan PPATK, kata Ivan, jumlah deposit judi online melonjak hingga Rp 5 triliun saat momen Lebaran. Setelah rekening dormant dibekukan sementara, pada bulan setelahnya, yakni Mei, angkanya menyusut menjadi Rp 2,9 triliun. Lalu turun lagi pada Juni dengan jumlah deposit Rp 1,5 triliun. “Frekuensi transaksi turun terus, dari Rp 33 juta sampai kurang dari Rp 3 juta,” kata dia.
Ivan mengatakan, banyak di antara rekening pasif itu dimanfaatkan sebagai jalur aktivitas judi online. Ia pun mengklaim bahwa kebijakan pemblokiran rekening dormant yang dilakukan PPATK berkontribusi terhadap terganggunya operasional sejumlah jaringan judi online dan aktivitas tindak pidana lainnya.
Musababnya, ia menjelaskan bahwa rekening dormant yang diblokir PPATK diduga rawan disalahgunakan untuk kejahatan keuangan, termasuk tindak pidana pencucian uang. Dari sekitar satu juta rekening yang diduga terkait TPPU, PPATK menemukan 150 ribu di antaranya merupakan rekening dormant.
Ivan mengatakan rekening dormant yang diblokir akan dibuka kembali setelah dipastikan tidak terindikasi tindak pidana. Para pemilik rekening-rekening itu, tutur dia, tetap bisa mengakses uangnya kembali jika datang ke bank dan terverifikasi, “Enggak lebih dari 24 jam dibuka lagi. Sekarang sudah 28 juta rekening kami lepas.”
Adapun upaya tersebut, kata Ivan, merupakan bentuk perlindungan. Misalnya, nasabah yang membuka rekening dengan itikad baik, tapi kemudian jadi sasaran pelaku kejahatan.
Sebelumnya, PPATK mencatat ada banyak rekening dormant. Bahkan terdapat lebih dari 140 ribu rekening dormant hingga lebih dari 10 tahun dengan nilai Rp 428.612.372.321 (Rp 428,37 miliar).
Koordinator Kelompok Substansi Humas PPATK M Natsir Kongah dalam keterangan resminya pada Selasa, 29 Juli, menjelaskan, puluhan ribu rekening itu tidak aktif. Selain itu, tak ada pembaruan data nasabah.
Berdasarkan hasil analisis maupun pemeriksaan PPATK sejak 2020, ada lebih dari 1 juta rekening yang diduga berhubungan dengan tindak pidana. Dari sejuta rekening itu, 150 ribu rekening di antaranya adalah nominee.
Artinya, rekening itu diperoleh dari aktivitas jual beli rekening, peretasan atau hal lainnya secara melawan hukum. Selanjutnya rekening itu digunakan untuk menampung dana dari hasil tindak pidana, yang kemudian menjadi menjadi tidak aktif atau dormant. “Lebih dari 50.000 rekening tidak ada aktifitas transaksi rekening sebelum teraliri dana illegal,” kata Natsir.
Selain itu, PPATK menemukan lebih dari 10 juta rekening penerima bantuan sosial atau bansos yang tidak pernah dipakai selama lebih dari 3 tahun. Dana bansos sebesar Rp 2,1 triliun itu hanya mengendap.
Berdasarkan data dari perbankan per Februari 2025, PPATK menghentikan sementara transaksi pada rekening yang dikategorikan dormant. Pemblokiran sementara rekening dormant itu dilakukan pada 15 Mei 2025.
Dia menegaskan, uang nasabah di dalam rekening yang terblokir tetap aman. Data tersebut 100 persen utuh.
Penghentian transaksi ini bertujuan agar bank dan nasabah memverifikasi ulang rekening mereka. PPATK juga telah meminta perbankan untuk segera memverifikasi data nasabah, serta memastikan reaktivasi rekening ketika keberadaan nasabah serta kepemilikan rekening yang bersangkutan sudah diverifikasi.