nusarayaonline.id – Momentum perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia rupanya terus dimanfaatkan oleh kelompok Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) untuk mempengaruhi publik berkaitan dengan sikap oposisi dan ketidakpercayaannya terhadap pemerintah Indonesia dengan memanfaatkan isu sensitif berwujud rasisme.
Dalam beberapa hari terakhir terlihat sejumlah akun media sosial dari AMP dan beberapa afiliasi yang menjadi sumber rujukan kembali mengunggah narasi dekonstruktif yang memojokkan negara Indonesia kaitannya dengan sikapnya terhadap wilayah dan masyarakat Papua. Benang merah pada narasi yang diunggah selalu bermuara pada hak penentuan nasib sendiri. Bermodal pada sumber Wikipedia dan diselipi rujukan UU Nomor 40 tahun 20078 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis mereka terus meyakinkan bahwa rasisme terjadi di Papua oleh negara Indonesia yang disebut sebagai bangsa kolonial.
Jika ditarik kembali ke belakang, metode tersebut sudah sering dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki tendensi sebagai oposisi pemerintah. Dalam konteks permasalahan di Papua yakni separatisme, pihak-pihak tersebut cenderung memiliki misi akhir ‘memperjuangkan’ diri untuk lepas dari Indonesia. Sekalipun dengan cara-cara yang tak bisa dibenarkan dan cenderung bersifat kotor serta memaksa. Selain narasi propagandis yang terus diunggah melalui media sosial. Gelaran Upacara perayaan kemerdekaan Indonesa tahun 2022 ini juga dikotori dengan tindakan aksi teror penembakan terhadap petugas keamanan dan pembakaran sebuah bangunan milik pemerintah di Intan Jaya Papua.
Pemanfaatan Isu Rasisme yang Terus Diulang-ulang
Tak dapat dipungkiri, kejadian tahun 2019 lalu di Surabaya dan Malang yang merembet pada kejadian kerusuhan di sebagian wilayah Papua menjadi refleksi bersama sekaligus evaluasi bagi seluruh pihak. Isu rasisme yang didukung dengan kecepatan informasi melalui media sosial ataupun media online mampu menjadi sumbu atau pemantik sikap emosional yang jauh dari pikiran rasional maupun pertimbangan logika. Melalui isu rasisme pula, sejumlah pihak yang menginginkan referendum seperti mendapat amunisi untuk terus mempengaruhi publik. Salah satunya dari pihak AMP, sebagai kelompok yang berisikan kaum intelektual mahasiswa harusnya mampu menjadi representasi bagi pandangan masyarakat Indonesia kepada masyarakat Papua ataupun teladan bagi masyarakat Papua sendiri untuk bersikap secara lebih bermartabat. Ironisnya, AMP justru terbukti berafiliasi dengan kelompok separatis seperti KNPB untuk turut serta menambahkan poin tuntutan ‘pesanan’ yakni permintaan referendum, apapun isu yang sedang diangkat. Termasuk isu rasisme di momentum peringatan HUT RI ke-77.
Dalam gerakannya. banalitas tersebut seperti telah terkonsep dalam sebuah kubu, pasalnya sebelumnya Petisi Rakyat Papua (PRP) dalam beberapa kali unggahannya di media sosial terlebih dahulu menyinggung isu rasisme menggunakan peristiwa di tahun 2019 yang mencoba diangkat kembali ke publik. PRP merupakan salah satu kelompok yang selama beberapa bulan terakhir menunjukkan eksistensi dengan mengkooordinir aksi penolakan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah, seperti Otonomi khusus dan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB). PRP juga diketahui memiliki hubungan dengan KNPB sebagai salah satu front politik dari kelompok separatis dengan misi lepas dari Indonesia.
Belajar dari Isu Rasisme yang Dimanfaatkan AMP dan PRP
Membicarakan isu rasisme kaitannya dengan konteks Papua tak bisa terlepas dari definisi identitas. Adanya istilah “Orang Papua” memiliki makna yang multitafsir. Sejumlah orang yang bukan “Orang Asli Papua” menyebut atau mengganggap dirinya sebagai “orang Papua” karena lahir besar di tanah Papua. Hal seperti ini juga terjadi di daerah lain dan tidak menjadi masalah karena memiliki rasa kepemilikan terhadap tanah kelahiran atau tempat tumbuh besar. Namun kemudian, fenomena ini seringkali pada kenyataannya membuat hak-hak orang Asli Papua semakin terpinggirkan. Maka dari itu, muncullah istilah ‘OAP’ (Orang Asli Papua), yang memiliki hak keistimewaan atas tanah mereka sendiri yang dijamin Undang-undang. Secara definisi, OAP dalam pelaksanaannya adalah orang Papua yang memiliki garis keturunan Papua dari Ayanya. Istilah ‘OAP’ berpegang teguh kepada patrilineal, karena dalam adat Papua, pemberian ‘marga’ bagi anak harus mengikuti garis keturunan Bapak. Tetapi tidak sedikit juga yang diberi ‘marga’ dari Ibunya, biasanya kejadian seperti ini diikuti dengan pemberian hak dalam bentuk tanah atau warisan adat.
Perbedaan fisik antara OAP dengan masyarakat Indonesia dari daerah lain menjadi sesuatu perbedaan yang nampak. Namun lebih dari itu, perbedaan pandangan terhadap masyarakat wilayah timur Indonesia justru lebih kepada stereotip sebagai masyarakat yang tertinggal. Hal seperti ini yang secara tidak sadar akan melahirkan benih-benih rasisme yang berpengaruh terhadap proses pembangunan di wilayah tersebut. Pemerintah secara massif terus membangun Papua melalui sejumlah kebijakan, di sisi lain juga masih terdapat kelompok separatis yang menunjukkan eksistensi. Maka, untuk mendapatkan hasil yang optimal, perlu adanya perubahan pendekatan konsep pembangunan di tanah Papua, yakni bagaimana caranya membangun konsep kePapuaan dalam Keindonesiaan. Dengan konsep tersebut diharapkan akan menciptakan rasa adil, diakui, dan diterima menjadi bagian dari kebhinekaan itu sendiri. Ketika hal tersebut terjadi, maka tendensi rasialisme akan hilang dengan sendirinya.
Adanya kejadian yang dilatarbelakangi isu rasisme pada 2019 lalu kemudian berimbas kepada kerusuhan di Papua, harus menjadi pembelajaran bersama. Bahwa rasisme adalah isu sensitif yang sangat mudah sekali menyulut emosi, entah masyarakat di Papua atau orang asli Papua yang tidak terima dengan kejadian tersebut. Di sisi lain, menjadi hal yang miris ketika kejadian tersebut kemudian diperingati dengan ditunggangi kepentingan lain, seperti yang dilakukan PRP lalu diikuti AMP dengan tujuan akhir yang sama yakni tuntutan referendum.
AMP yang terdiri atas beberapa komite dan berisikan para mahasiswa, seyogyanya adalah kelompok intelektual yang harusnya menjadi cerminan masyarakat Papua secara lebih luas. Terdapat tanggung jawab untuk memberikan teladan bagi masyarakat umum di Papua maupun di luar daerah. Namun, sepertinya hal tesebut tak terjadi di AMP. Adanya pengangkatan isu rasisme jelas merupakan bagian dari strategi gerakan untuk membangkitkan sentimen anti Indonesia, terlebih bertepatan dengan perayaan HUT RI.
Pesan Persatuan oleh Gubernur Lukas Enembe
Tak hanya melalui isu rasisme yang melenggang di unggahan media sosial. Perayaan ulang tahun kemerdekaan RI juga dikotori dengan aksi gangguan keamanan oleh kelompok separatis di wilayah Intan Jaya. Komandan Korem 173/PVB, Brigjen TNI Taufan Gestoro, mengatakan bahwa pada Rabu 17 Agustus 2022 lalu sekitar pukul 08.00 WIT, Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua melakukan penembakan di sekitar Mamba, namun berhasil diatasi oleh aparat keamanan. Secara keseluruhan, kegiatan perayaan di tempat tersebut berlangsung aman. Sehari sebelumnya, teror juga dilakukan oleh KST Papua di Intan Jaya. Teror berupa penembakan dan pembakaran dilakukan di tiga lokasi, yakni Mamba Distrik Sugapa, belakang BPD, dan belakang Polsek. Akibat teror tersebut operasional bandara sempat ditutup sekitar pukul 10:00 WIT, tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut.
Sementara itu, Mantan pemimpin Organisasi Papua Merdeka (OPM) Lambert Pekikir turut menghadiri upacara Hari Ulang Tahun Ke-77 Republik Indonesia di Arso, Kabupaten Keerom, Papua. Kedatangan Lambert Pekikir didampingi Komandan Resor Militer (Danrem) 172/PWY Brigadir Jenderal (Brigjen) Tentara Nasional Indonesia (TNI) JO Sembiring. Kehadiran mantan anggota yang juga pimpinan OPM Lambert Pekikir di HUT RI sebagai tanda bahwa beliau benar-benar ingin kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Peringatan detik-detik proklamasi Kemerdekaan Indonesia menjadi momentum bagi Papua untuk semakin maju dan bangkit dari keterpurukan. Pesan tersebut disampaikan oleh Gubernur Lukas Enembe dalam upacara di stadion Lukas Enembe, Kabupaten Jayapura. Hal yang serupa juga disampaikan Asisten Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Setda Papua Muhammad Musa’ad bahwa HUT ke-77 RI harus menjadi momentum untuk semakin membaiknya pembangunan di Papua. Peringatan ini juga adalah momentum untuk bersatu menjaga kedamaian karena itu menjadi instrumen penting agar pembangunan bisa dilaksanakan di Tanah Papua sebagai bagian integral NKRI.
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)